HAQQNEWS.CO.ID – Pengasuh Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta KH Syukron Makmun mengungkapkan bahwa membaca shalawat kepada Rasulullah Muhammad merupakan perintah Allah yang tidak terikat oleh tempat dan waktu.

Hal itu ia sampaikan dalam Pembukaan Jakarta Bershalawat dan Lebaran Nahdliyin di Masjid Raya KH Hasyim Asy’ari, Cengkareng, Jakarta Barat, pada Kamis (8/9/2022). Hadir saat itu, A’wan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang dikenal sebagai Pelantun Shalawat dari Solo Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf, Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan, Ketua PWNU DKI Jakarta KH Samsul Ma’arif beserta seluruh jajaran pengurus dan warga NU se-Jakarta.

Menurut Kiai Syukron, ibadah yang Allah perintahkan, pasti ada perintah terkait waktu atau tempat. Salah satu contohnya, ibadah haji yang bertempat di Mekkah, Arab Saudi, dan dilaksanakan pada 9 Dzulhijjah. Kemudian perintah Allah yang ditentukan tempat tetapi bebas dilakukan kapan saja yaitu ibadah umrah.

“Ada juga perintah Allah yang ditentukan waktunya, tapi tempatnya bebas, yaitu salat lima waktu,” imbuh Kiai Syukron sebagaimana NU Online mengutipnya.

Ia mengungkapkan, membaca shalawat adalah perbuatan baik. Akan tetapi kadang dikaitkan dengan bid’ah atau sesuatu yang baru yang tidak ada zaman Rasulullah, dan segala yang bid’ah itu dihukumi jelek.  “Akal sehat kita akan menjawab barang yang baru itu mungkin baik dan mungkin jelek,” tuturnya.

Menurut Imam Syafi’I, apabila ada barang atau sesuatu yang baru yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad maka itu termasuk hal baru yang terpuji. Sebaliknya, jika sesuatu yang baru itu bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad maka itu adalah dhalalah (sesat).

“Sebenarnya Allah pertama kali yang membuat bid’ah, karena Allah pencipta langit dan bumi. Sebelum Allah menciptakan itu, tidak ada langit dan bumi,” jelas kiai berjuluk singa podium itu.

Ia menjelaskan, Allah merupakan pencipta bid’ah yang pertama kali. Karena itu, acara shalawatan di dalam agenda Lebaran Nahdliyin itu adalah bid’ah tetapi baik, seperti yang digariskan Imam Syafi’i dan Sayyidina Umar bin Khattab.

“Saya meyakini pada zaman Rasulullah tidak ada shalawat (dan) tarawih berjamaah. Begitu juga pada zaman Khalifah Sayyidina Abu bakar Ash-Shiddiq. Baru ketika zaman Sayyidina Umar bin Khattab (shalawat dan tarawih) ada,” lanjutnya.

Saat melihat ada orang tarawih secara sendiri-sendiri, Sayyidina Umar bin Khattab kemudian berpikir alangkah bagusnya apabila tarawih dilakukan berjamaah. Lalu Sayyidina Umar menunjuk Ubay bin Ka’ab sebagai Imam tarawih berjamaah.

“Shalat tarawih adalah barang baru (karena) tidak ada di zaman Rasulullah. Tetapi setelah terlaksana shalat tarawih berjamaah itu, Sayyidina Umar mengatakan: ini adalah sebagus-bagusnya bid’ah. Karena tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah,” imbuh Kiai Syukron. (HQ1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *