HAQQNEWS.CO.ID – Politik kekerabatan atau politik dinasti mendapat sorotan secara nasional. Di antaranya datang dari Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini.

Dia mengatakan, secara legal formal memang tidak ada yang salah dengan terpilihnya suami istri atau ayah anak menjadi kepala daerah. Namun secara etika dan pendidikan politik, hal tersebut kurang mendidik dan justru melanggengkan politik kekerabatan atau politik dinasti.

“Bila kecenderungan itu terus berlanjut di masa mendatang, maka akan makin melanggengkan politik kekerabatan,” ujar Titi, Selasa (22/12), sebagaimana laman Republika mengutipnya.

Meskipun mereka terpilih melalui proses pemilihan langsung oleh rakyat, tetapi peran partai politik (parpol) yang dominan memberikan akses pencalonan kepada mereka. Suami istri atau ayah anak yang memimpin posisi publik mengesankan terbatasnya kader partai mengisi rekrutmen politik melalui pilkada.

Apalagi, menurut Titi, relasi antara suami istri atau hubungan kekerabatan lainnya sangat mungkin menimbulkan terjadinya benturan kepentingan dalam pelaksanaan tugas roda pemerintahan daerah.

Menurut Titi, seharusnya parpol membuka ruang pencalonan yang lebih inklusif dengan memberi kesempatan lebih luas kepada banyak orang untuk maju pilkada.

Titi menyebutkan, fenomena yang terjadi sekarang ini menunjukkan penguasaan rekrutmen politik hanya segelintir orang saja. Akses dan inklusif pencalonan makin menyempit karena mengutamakan faktor kekerabatan di antara elite politik.

Padahal, kata Titi, sebenarnya parpol mempunyai banyak kader yang bisa maju dan mengisi posisi-posisi penting publik. Politikus parpol seharusnya berupaya maksimal menghindari potensi terjadinya benturan kepentingan dalam kepemimpinan politik dan pelayanan publik dengan membuka seluas-luasnya kesempatan masyarakat menjadi kandidat kepala daerah sesuai kompetensinya.

Titi mengatakan, praktik politik kekerabatan kental dengan nuansa mempertahankan kekuasaan. Dampaknya adalah penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan untuk kepentingan pribadi seperti tindakan korupsi.

“Seseorang itu maju di pilkada tentu untuk merebut kekuasaan. Saat sedang berkuasa tentu kekuasaan yang ada ingin terus bertahan,” kata Titi. (HQ1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *