ARUS media sosial alias medsos kian tak terbendung menggempur berbagai sisi bidang kehidupan manusia. Berbagai platform medsos begitu pesat perkembangannya dan menawarkan kemudahan berkomunikasi. Namun tetap tak terlepas dari sisi negatifnya yang perlu pengantisipasian khususnya menghadapi agenda nasional kepemiluan 2024.
Data terbaru bulan Februari 2022, menurut Datareportal, digitaliasi Indonesia bertumbuh sangat cepat. Penggunaan telepon seluler mencapai 370,1 juta. Angka yang sudah melebihi populasi dengan persentase 133,3 persen. Artinya satu orang lebih dari satu smartphone. Sedangkan pengguna aktif media sosial sebanyak 191,4 juta atau sebesar 68,9 persen populasi.Angka pengguna aktif medsos tersebut tidak berbeda jauh dengan angka partisipasi pemilih dalam beberapa kali pemilihan kepala daerah. Tingkat partisipasi pemilih pada pemilihan kepala daerah Indonesia tahun 2020 sebesar 76,9 persen, tahun 2015 sebesar 70 persen, tahun 2017 sebesar 74 persen, dan sebesar 73,2 persen pada tahun 2018.
Tidak mengherankan setiap menjelang kepemiluan, pengguna aktif medsos terasa lebih riuh kalau tak mau dibilang gaduh. Sayangnya tidak semua postingan yang muncul ke berbagai platform medsos terverifikasi dengan benar. Seringkali justru menimbulkan pertentangan dan debat panjang tak berujung hanya menghabiskan energi.
Data yang dapat diakses dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia menunjukkan pengguna aktif medsos menyebarkan konten konten hoaks dengan dominasi konten palsu sebesar 34 persen, konten manipulasi sebesar 23,4 persen, konten menyesatkan 21,3 persen, konten salah 17 persen, konten tiruan 2,1 persen, serta konten satire 2,1 persen.
Pemelintiran konten-konten medsos telah membuat masyarakat yang masih lemah literasi kesulitan memilah informasi yang mereka konsumsi. Seringkali pula mereka begitu tertarik dengan konten yang ada kemudian meneruskannya ke grup medsos tanpa upaya memfilter. Contohnya ditemukan konten seorang paslon pilkada gubernur sedang menggalang dana atau sumbangan untuk kampanye lalu masyarakat begitu saja memercayainya dan akhirnya masih ada saja yang tertipu.
Berbagai konten hoaks telah terbukti menggempur melalui medsos pada Pemilu 2019. Hal itu tergambar dengan jelas berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Kominfo yang mengidentifikasi setidaknya 62 konten hoaks terkait kepemiluan. Konten-konten hoaks tersebut melakukan serangan informasi palsu yang menyesatkan terhadap pemerintah, terhadap presiden, terhadap partai, serangan kepada para calon sampai kepada informasi menyesatkan soal PKI dan China. Pun penyelenggara pemilu tak luput dari serangan hoaks medsos, contohnya seperti konten akan diadakannya pemilu online oleh KPU, ancaman pembunuhan terhadap anggota KPU, dan pendatang China akan diberi arahan oleh KPU untuk mencoblos di TPS.
Serangan demi serangan melalui berbagai platform medsos menjadi sangat berbahaya dan menyesatkan bagi masyarakat yang menjadi peserta pemilih dalam momen kepemiluan. Cara kerja medsos dengan jangkauan yang luas dapat saja memengaruhi opini publik jika tidak ada antisipasi sisi negatifnya. Menurut pakar media Cobb and Elder, karena jangkauan dan ekspansi yang luas maka media dapat saja memberikan tekanan dan memengaruhi agenda publik yang sedang berjalan. Untuk itu perlu pengantisipasian sisi negatif medsos yang menyerang dengan jangkauan luas, dari penyelenggara kepemiluan itu sendiri.
Penyelenggara kepemiluan dapat melakukan langkah kreatif untuk memulai melakukan penetrasi kepada medsos yang merupakan habitat berkembangnya hoaks. Selain penggunaan medsos melalui akun-akun bersifat manual, tidak ada salahnya penyelenggara mulai menggunakan konsep digital marketing yang secara otomatis dan bertarget dapat menjangkau publik yang lebih luas.
Penggunaan konsep digital marketing akan dapat menjangkau audien secara bertarget sesuai dengan kelompok umur dan wilayah daerah pemilihan. Sehingga sosialisasi yang dilakukan penyelenggara kepemiluan dapat ‘’menghantui’’ setiap pemegang smartphone dan sosialisasi yang digencarkan penyelenggara akan selalu terlihat saat pengguna membuka platform medsosnya.
Langkah tak kalah kreatifnya, tentu saja harus berkolaborasi dengan berbagai pihak sebagai alternatif agar kesuksesan kepemiluan dapat diraih. Sebagaimana diketahui tata kelola kolaboratif sudah menjadi arus utama di dunia untuk menyukseskan suatu agenda tidak terkecuali untuk agenda bersama kepemiluan.
Proses kolaboratif model Ansell dan Gash (2008) yang sangat terkenal dapat menjadi inspirasi penyelenggara kepemiluan dalam melakukan kolaborasi pemerintahan (collaborative governance). Proses kolaborasi dapat digabungkan dengan model penta helix, di mana lima pemangku kepentingan, yakni pemerintah, dunia usaha, universitas/akademisi, masyarakat madani, dan media massa akan dapat mendukung agenda bersama kepemiluan dengan harapan akan menghasilkan kepemimpinan yang mensejahterahkan masyarakat. ***
Penulis: ARHAM
Jurnalis/Praktisi Media, Mahasiswa Pascasarjana Administrasi Publik Universitas Terbuka
______________________
Sumber : Batampos.co.id